Sastra dan Budaya

 

                                      

 

                                                            Sastra Dan Budaya

    Sastra merupakan pencerminan budaya suatu masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.

    Kajian yang erat kaitannya dengan Sastra dan budaya ini adalah kajian Sosiologi sastra. Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu.

    Dalam hal sastra sebagai cermin budaya masyarakat tentu kita harus juga melihat konteks ruang dan waktu. Karena ciri-ciri suatu masyarakat, kondisi sosial, adat istiadat, dan budaya-budaya masyarakat lainnya yang ditulis dalam karya sastra tentu sesuai dengan situasi dan kondisi saat karya sastra tersebut lahir.

    Selain sebagai cermin budaya masyarakat, maka hal lain yang menarik untuk dibahas adalah sastra dalam hal ini Sastra Indonesia diciptakan, tumbuh dan berkembang dari budaya Indonesia yang beraneka ragam. Oleh karena itu, keberadaan sastra di Indonesia pun beraneka ragam, mulai keragaman gaya ungkap bahasa, tokoh, mitologi, hingga ke masalah sosial, politik, dan budaya etnik. Moda dan genre sastra di Indonesia yaitu prosa, sajak, puisi, esai, drama dan fiksi menjadi lebih kaya tema dan gaya ungkap bahasa yang spesifik karena ada dongeng, legenda, mitos, epos, tambo, hikayat, syair, pantun, gurindam, macapat, karungut, mamanda, dan geguritan. Keberagaman moda dan genre sastra tersebut juga menyebabkan keberagaman dalam hal gaya ungkap, tokoh yang ditampilkan, semangat mitologi yang mendasari, serta masalah sosial, politik, dan budaya etnik dari sastrawan daerah yang menuliskan karya tersebut.

Hubungan Sastra dan Kebudayaan 
        Menurut Teeuw (1988: 23), sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik, seperti silpasastra (buku petunjuk arsitektur), kamasastra (buku petunjuk percintaan). Dalam perkembangan berikut kata sastra sering dikombinasi-kan dengan awalan ‘su’, sehingga menjadi susastra, yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah. Dalam teori kontemporer sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan kreativitas, yang selanjutnya merupakan satu-satunya ciri khas kesusastraan. Terdapat banyak sekali definisi mengenai kebudaya-an. Definisi yang paling tua sekaligus paling luas berasal dari E.B. Tylor (Sardar dan Loon, 1997: 4) yang dikemukakan dalam bukunya yang berjudul Primitive Culture (1871). Menurut Taylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan lain. Definisi mutakhir yang senada dengan Taylor, sekaligus dengan memberikan peranan terhadap masyarakat, diberikan oleh Marvin Harris (1999: 19), yaitu seluruh aspek kehidupan manusia dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan tingkah laku. Menurut Koentjaraningrat (1974: 80), kata kebudayaan berasal dari buddhayah (Sansekerta), sebagai bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal.
    Dikaitkan dengan bahasa-bahasa barat, yang semuanya berasal dari bahasa Latin, yaitu litteratura, sastra berarti segala sesuatu yang tertulis. Sebaliknya, culture, juga dari bahasa Latin colere, berarti mengolah, mengerjakan, yang secara luas diartikan sebagai aktivitas manusia untuk mengolah alam. Kebudayaan mengolah alam melalui kemampuan akal, melalui teknologi, termasuk ekonomi dan politik, sedangkan sastra mengolah alam melalui kemampuan tulisan. Mengolah dalam sastra, dalam hubungan ini diartikan sebagai membangun alam, membangun dunia baru, sebagai ‘dunia dalam kata’. Hasilnya adalah jenis-jenis karya sastra, seperti: puisi, novel, kakawin, dan sebagainya. Alam baru yang dibangun oleh kebudayaan, misalnya: perumahan, pertanian, hutan, kawasan pariwisata, kawasan elite, dan sebagainya.
    Sastra dan kebudayaan, seperti telah diuraikan di atas, baik secara definitif etimologis maupun secara praktis pragmatis, berhubungan erat. Kedua istilah berada dalam kelompok kata yang memberikan perhatian pada aspek rohaniah, sebagai pencerahan akal budi manusia. Apabila dalam perkembangan berikut sastra perlu diberi definisi yang lebih sempit, yaitu aktivitas manusia dalam bentuk yang indah, lebih khusus lagi bentuk dengan memanfaatkan bahasa, baik lisan maupun tulisan, tidak demikian halnya terhadap kebudayaan. Artinya, kebudayaan tetap memiliki ruang lingkup yang lebih luas, bahkan cenderung diberikan peluang untuk bertambah luas sebab aktivitas manusia bertambah luas dan beragam.

Hakikat Sastra dan Kebudayaan
    Sebagai disiplin yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural. Dikaitkan dengan fungsinya, sebagai aktivitas literer dan aktivitas kultural, keduanya juga berfungsi untuk mengantarkan manusia untuk mencapai jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Perbedaan sesuai dengan hakikatnya masing-masing, karya sastra melakukannya secara tak langsung, melalui bahasa metaforis konotatif, aspek-aspek kebudayaan pada umumnya melakukannya secara langsung, melalui bahasa baku, bahasa logis denotatif. Pada umumnya kebudayaan menganalisis manusia secara langsung dalam masyarakat yang bersangkutan, di tempat-tempat kejadian. Apabila ternyata bahwa objek studi kultural merupakan teks, maka teks itu pun dianggap sebagai representasi suatu kejadian tertentu. Dalam hubungan inilah dikatakan teks sebagai gejala kedua. Sebaliknya, sastra selalu mentransformasikannya terlebih dahulu ke dalam teks, dari bahasa formal ke dalam bahasa sastra, dari kejadian ke dalam plot, dari karakterologi ke dalam karakterisasi.
    Objek formal karya sastra dengan demikian adalah teks itu sendiri, sedangkan objek formal studi kultural, meskipun dalam suatu penelitian sudah diadopsi ke dalam korpus data, tetap kejadian-kejadian empiris yang ada di lapangan, sebagai studi konteks. Oleh karena itulah, sastra disebut sebagai ‘dunia dalam kata’, bukan dunia manusia. Kejadian-kejadian yang sudah dilegitimasikan dalam teks tidak bisa diterjemah kembali ke dalam kejadian semula sebab sesudah direka karya sastra tidak memiliki relevansi objektif. Menurut Langer (1957:28,83), lukisan bukanlah cat atau kanvas, melainkan sudah berubah menjadi struktur ruang. Sastra bukanlah rangkaian kata dan kalimat, melainkan sudah berubah menjadi wacana, menjadi teks. Oleh karena itu pula, karya seni disebut sebagai sistem model yang kedua (Lotman, 1977:7-31), sebagai rekonstruksi, dan harus dipahami secara tak langsung, yaitu dengan memanfaatkan mediasi.

Studi Kultural
    Secara definitif etimologis sastra dan kebudayaan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan antara sastra dengan kebudayaan. Hubungan yang dimaksudkan, seperti dijelaskan di atas, terbatas sebagai hubungan timbal balik dan perbedaan hakikat masing-masing. Sebaliknya, sebagai studi kultural, model hubungan yang diteliti adalah seberapa jauh relevansi sastra terhadap eksistensi kebudayaan, seberapa jauh sumbangan yang dapat diberikan oleh sastra terhadap pemahaman aspek-aspek kebudayaan, khususnya kebudayaan kontemporer. Hakikat sastra dan kebudayaan pada umumnya sangat berbeda, kebudayaan memiliki hakikat objektif empiris, sedangkan karya sastra memiliki hakikat subjektif imajinatif. Meskipun demikian, sebagai ilmu pengetahuan multidisiplin, sastra dan kebudayaan dapat memberikan pemahaman yang berbeda, sebagai pemahaman multikultural.
    Sebagai multidisiplin, studi kultural dibangun atas dasar kompetensi sastra dan kebudayaan, sedangkan kedua disiplin pada dasarnya sudah memiliki berbagai bidang kajian tertentu, bahkan dengan metode dan teori tersendiri. Dengan membedakan atas tiga bidang kajian utama, sastra dianalisis menjadi teori, kritik, dan sejarah sastra. Dengan melibatkan komponen pelaku utama dalam proses produksi, sastra kemudian dianalisis dalam kaitannya dengan pengarang, pembaca, dan karya sastra itu sendiri, termasuk penerbit, badan sensor, dan maesenas. Dengan melihat karya sastra secara khusus, sebagai kualitas yang otonom, maka karya dianalisis sebagai aspek intrinsik dan ekstrinsik. Aspek intrinsik, secara struktural dapat dianalisis menjadi insiden, plot, perwatakan, teknik cerita, komposisi cerita, dan gaya bahasa. Demikian juga aspek ekstrinsik, apabila mengikuti pendapat Sukada (1987: 48-87) dianalisis dalam kaitannya dengan unsur-unsur historis, sosiologis, psikologis, dan filsafat religius.
    Sastra dan kebudayaan memperoleh tempat khusus, dengan pertimbangan terjadinya antar hubungan yang erat di antara keduanya. Sastra adalah bagian integral suatu masyarakat tertentu, sedangkan masyarakat itu sendiri merupakan bagian dari kebudayaan yang lebih luas. Keseluruhan permasalahan masyarakat yang dibicarakan dalam sastra dan kebudayaan tidak bisa dilepaskan dengan kebudayaan yang melatar belakanginya. Individu dengan mekanisme antar hubungannya, jaringan status peranan, konflik dan harmoni, struktur sosial yang dibangun, dan sebagainya, mengandaikan penetrasi sistem kultural periode tertentu. Masyarakat Balai Pustaka dengan sendirinya berbeda dengan masyarakat Pujangga Baru, berbeda juga dengan masyarakat Sesudah Perang, demikian seterusnya sebab sistem kultural, baik secara langsung maupun tidak langsung mengkondisikan periode-periode tersebut.


Referensi:
https://medium.com/@arifinung/menguak-sastra-melestarikan-budaya-dfe022d1c64c#:~:text=Sastra%20merupakan%20pencerminan%20budaya%20suatu,mampu%20memberi%20pengaruh%20terhadap%20masyarakat.

https://media.neliti.com/media/publications/235006-sastra-dan-budaya-9f18ccea.pdf 

Tidak ada komentar